Minggu, 04 September 2016

Prolog perasaan Aku dan kamu yang dulu "kita"



PROLOG KITA
DIA      : “Sebaiknya kau jelaskan perasaan itu pada dirimu, tanya hatimu!”
AKU     : “Aku mencintaimu lebih dari itu”
DIA      : “Untuk apa?”
AKU     : “Aku tak tahu bagaimana menjelaskan ini padamu”
DIA      : “Seharusnya kau pahami perasaanmu sebelum mengajakku memahaminya apa benar-benar cinta atau sekedar kesepian, jika saja aku bukan aku yang seperti ini bisakah lebih dari itu perasaanmu?”
AKU     : “Terlalu rumit jika kau katakan itu”
DIA      : “Sebenarnya ini tidak rumit hanya saja kau terlalu memaksakan dirimu untuk lebih mencintaiku, mendapatkan hatiku lagi.”
AKU     : “Kita tidak sedang berbicara tentang hatiku, tapi tentang hatimu padaku”
DIA      : “Tidak, sebelum hatiku kau tanyakan, tegaskan pada dirimu untuk apa kita disini, Aku ingin kita jujur bagaimana jika aku telah dimiliki hati lain? Kenapa kau tak pernah tanyakan itu padaku?”
AKU     : “Aku tak pernah berfikir kamu telah dimiliki atau memiliki dipilih atau memilih hati lain, bagiku kau tetap sama. Saat sebelum bersamaku, ketika bersama, setelah tidak bersama dan saat akan kembali bersama. Tak ada alasan lagi bukan?”
DIA      : “Hanya saja kau tak pernah tahu bagaimana perjalanan hati ini, bagimu aku sama. Sejak kapan anggapan  itu? Setelah tidak bersama lagi, Aku menemukan hati lain yang kami satukan, apa kau tahu itu? dan seandainya kau pun sama mengapa kau tidak pertahankan dan memilih merayu hatiku lagi?”
AKU     : “Bukan hati itu yang aku mau”
DIA      : “Tidak semua hati akan menjadi sama seperti yang kau mau”
AKU     : “Tidakkah kau tanya mengapa hatiku menjadi seperti ini?”
DIA      : “Bahkan kau tidak menjelaskan pada dirimu sendiri?”
AKU     : “Aku telah mencari hati dengan apa adanya hati ini, bagaimana bisa hati mereka tidak merasakan apa-apa. Pernah kubentuk menjadi sangat indah ku berikan pada mereka saat itu pula hancur tak berbentuk”.
DIA      :  “Bukankah itu perjalanan? Proses? Lalu bagaimana jika aku melakukan hal yang sama pada hatimu? Apa kau menjadikan hatiku sama seperti kau jadikan mereka? “
AKU     : “Apa kau senang melihatku seperti itu? Gagal, hancur nyaris menyerah berhenti lebih awal?”
DIA      : “Aku tidak sedang menggiringmu! Harusnya kau lebih jujur pada hatimu sendiri dibanding harus mencari alibi.”
AKU     : “Aku tidak sedang mencari alasan dan pembenaran atas setiap kegagalanku, sederhana sekali aku mencintaimu itu saja.”
DIA      : “Lalu bagaimana jika aku menyakitimu, membuatmu gagal? Masih ada cinta itu? Terlalu mudah untukmu mencintai tanpa ingin berjuang.“
AKU     : “Berjuang?  Berjuang seperti apa yang kau maksud? Bersabar, menunggu, meluluhkan dan saat semua terlihat indah setelah itu kemudian hancur?”
DIA      : “Kau sebut itu berjuang? Itu tidak lebih dari sekedar modus-modus sampah!”
AKU     : “Jika benar aku sampah dimatamu”
DIA      : “Tindakanmu! Tidak kau mengertikah perdebatan kita ini? Bahkan kau tidak mengucapkan penyesalasan tentang bagaimana dulu kau menghancurkan, membuatku gagal, dan ingin berhenti?  Ini tidak lebih dari keegoisanmu.”
AKU     : “Kini kau benar-benar menghakimiku,seolah-olah aku yang paling berdosa telah meninggalkanmu,padahal saat yang bersamaan kau pergi tanpa aku tahu apa dosaku?”
DIA      : “Semakin jelas kini hati ini berharap pada hati yang salah, hati yang tak pernah luluh meski dosa-dosanya sudah terkuak, hati yang benar-benar menjaga dirinya sendiri tanpa tahu ada hati lain yang berharap dan bahkan saat hati itu ada dihadapannya masih saja angkuh. Atau aku keliru menggap itu adalah hati?”
AKU     : “Aku tahu hati itu masih untuk ku, bukan begitu?” Tidak kah kau tau, hati ini hampir lumpuh terlalu melangkah jauh dibayangi awan hitam, ditikam tanda tanya bahwa pergi adalah pilihanmu. Dan saat kenyataan itu terbit aku tahu bahwa hatimu tidak lagi jadi rumahku. Apa kau tau sesakit apa saat kita tak bersama? Jika kau katakan ini bukan lagi hati, perjalananlah yang membuatnya terkikis.
DIA      : “Tidak pada akhirnya, jika kau begitu sakit saat hati kita tak bersama, bahkan kau pun  tak tau bagaimana hati ini meraung-raung. Aku tak mau menyalahkanmu, sama seperti saat ini yang kau lakukan. Aku lebih suka menyebut  ini takdir. Takdir yang mengatur waktu kapan hati kita bertemu dan akan berpisah.
AKU     : “Kaupun tahu jika aku tidak suka diatur waktu, Karena bagiku waktu adalah sekarang, sekarang yang menetukan esok, sekarang yang menetukan masa depan. Takdir? Kita pernah bersama saling jatuh cinta itu takdir. Tapi kamu meninggalkanku begitu saja itu pilihan.”
DIA      : “Percakapan ini semakin  jelas menyadarkanku, kau ingin kita bersama, mengulang semuanya, hal indah kita, beharap semua akan kembali seperti yang kau inginkan tapi kau melupakan satu hal semua takkan seindah seperti pertama. Dan kamu tahu apa hal yang paling menyakitkan selain ditinggalkan? Itu meningglkan. Tidak ada lagi hati ini untukmu, tak ada kata kita di hidup mu dan aku. Semua telah berdeda jalan kita sudah jauh bersebrangan, tak ada lagi bintang yang tunjukan jalan pulang untukmu kehatiku begitupun sebaliknya. Hati kita akan berlabuh pada dermaganya masing-masing.
AKU     : “Harusnya aku tahu pilihan terburuk adalah kembali”