PROLOG KITA
DIA : “Sebaiknya
kau jelaskan perasaan itu pada dirimu, tanya hatimu!”
AKU : “Aku
mencintaimu lebih dari itu”
DIA : “Untuk apa?”
AKU : “Aku tak tahu
bagaimana menjelaskan ini padamu”
DIA : “Seharusnya
kau pahami perasaanmu sebelum mengajakku memahaminya apa benar-benar cinta atau
sekedar kesepian, jika saja aku bukan aku yang seperti ini bisakah lebih dari
itu perasaanmu?”
AKU : “Terlalu rumit
jika kau katakan itu”
DIA : “Sebenarnya
ini tidak rumit hanya saja kau terlalu memaksakan dirimu untuk lebih
mencintaiku, mendapatkan hatiku lagi.”
AKU : “Kita tidak
sedang berbicara tentang hatiku, tapi tentang hatimu padaku”
DIA : “Tidak,
sebelum hatiku kau tanyakan, tegaskan pada dirimu untuk apa kita disini, Aku
ingin kita jujur bagaimana jika aku telah dimiliki hati lain? Kenapa kau tak
pernah tanyakan itu padaku?”
AKU : “Aku tak
pernah berfikir kamu telah dimiliki atau memiliki dipilih atau memilih hati
lain, bagiku kau tetap sama. Saat sebelum bersamaku, ketika bersama, setelah
tidak bersama dan saat akan kembali bersama. Tak ada alasan lagi bukan?”
DIA : “Hanya saja
kau tak pernah tahu bagaimana perjalanan hati ini, bagimu aku sama. Sejak kapan
anggapan itu? Setelah tidak bersama
lagi, Aku menemukan hati lain yang kami satukan, apa kau tahu itu? dan
seandainya kau pun sama mengapa kau tidak pertahankan dan memilih merayu hatiku
lagi?”
AKU : “Bukan hati
itu yang aku mau”
DIA : “Tidak semua
hati akan menjadi sama seperti yang kau mau”
AKU : “Tidakkah kau
tanya mengapa hatiku menjadi seperti ini?”
DIA : “Bahkan kau
tidak menjelaskan pada dirimu sendiri?”
AKU : “Aku telah
mencari hati dengan apa adanya hati ini, bagaimana bisa hati mereka tidak
merasakan apa-apa. Pernah kubentuk menjadi sangat indah ku berikan pada mereka
saat itu pula hancur tak berbentuk”.
DIA : “Bukankah itu perjalanan? Proses? Lalu
bagaimana jika aku melakukan hal yang sama pada hatimu? Apa kau menjadikan
hatiku sama seperti kau jadikan mereka? “
AKU : “Apa kau
senang melihatku seperti itu? Gagal, hancur nyaris menyerah berhenti lebih
awal?”
DIA : “Aku tidak
sedang menggiringmu! Harusnya kau lebih jujur pada hatimu sendiri dibanding
harus mencari alibi.”
AKU : “Aku tidak
sedang mencari alasan dan pembenaran atas setiap kegagalanku, sederhana sekali
aku mencintaimu itu saja.”
DIA : “Lalu
bagaimana jika aku menyakitimu, membuatmu gagal? Masih ada cinta itu? Terlalu
mudah untukmu mencintai tanpa ingin berjuang.“
AKU : “Berjuang? Berjuang seperti apa yang kau maksud?
Bersabar, menunggu, meluluhkan dan saat semua terlihat indah setelah itu
kemudian hancur?”
DIA : “Kau sebut
itu berjuang? Itu tidak lebih dari sekedar modus-modus sampah!”
AKU : “Jika benar
aku sampah dimatamu”
DIA : “Tindakanmu!
Tidak kau mengertikah perdebatan kita ini? Bahkan kau tidak mengucapkan
penyesalasan tentang bagaimana dulu kau menghancurkan, membuatku gagal, dan
ingin berhenti? Ini tidak lebih dari
keegoisanmu.”
AKU : “Kini kau
benar-benar menghakimiku,seolah-olah aku yang paling berdosa telah
meninggalkanmu,padahal saat yang bersamaan kau pergi tanpa aku tahu apa
dosaku?”
DIA : “Semakin
jelas kini hati ini berharap pada hati yang salah, hati yang tak pernah luluh
meski dosa-dosanya sudah terkuak, hati yang benar-benar menjaga dirinya sendiri
tanpa tahu ada hati lain yang berharap dan bahkan saat hati itu ada
dihadapannya masih saja angkuh. Atau aku keliru menggap itu adalah hati?”
AKU : “Aku tahu hati
itu masih untuk ku, bukan begitu?” Tidak kah kau tau, hati ini hampir lumpuh
terlalu melangkah jauh dibayangi awan hitam, ditikam tanda tanya bahwa pergi
adalah pilihanmu. Dan saat kenyataan itu terbit aku tahu bahwa hatimu tidak
lagi jadi rumahku. Apa kau tau sesakit apa saat kita tak bersama? Jika kau
katakan ini bukan lagi hati, perjalananlah yang membuatnya terkikis.
DIA : “Tidak pada
akhirnya, jika kau begitu sakit saat hati kita tak bersama, bahkan kau pun tak tau bagaimana hati ini meraung-raung. Aku
tak mau menyalahkanmu, sama seperti saat ini yang kau lakukan. Aku lebih suka
menyebut ini takdir. Takdir yang
mengatur waktu kapan hati kita bertemu dan akan berpisah.
AKU : “Kaupun tahu
jika aku tidak suka diatur waktu, Karena bagiku waktu adalah sekarang, sekarang
yang menetukan esok, sekarang yang menetukan masa depan. Takdir? Kita pernah
bersama saling jatuh cinta itu takdir. Tapi kamu meninggalkanku begitu saja itu
pilihan.”
DIA : “Percakapan
ini semakin jelas menyadarkanku, kau
ingin kita bersama, mengulang semuanya, hal indah kita, beharap semua akan
kembali seperti yang kau inginkan tapi kau melupakan satu hal semua takkan seindah
seperti pertama. Dan kamu tahu apa hal yang paling menyakitkan selain
ditinggalkan? Itu meningglkan. Tidak ada lagi hati ini untukmu, tak ada kata
kita di hidup mu dan aku. Semua telah berdeda jalan kita sudah jauh
bersebrangan, tak ada lagi bintang yang tunjukan jalan pulang untukmu kehatiku
begitupun sebaliknya. Hati kita akan berlabuh pada dermaganya masing-masing.
AKU : “Harusnya aku
tahu pilihan terburuk adalah kembali”