BUKAN TANPA ALASAN
Jauh dari bising perkotaan, dekat kemiskinan dan
ketertinggalan. Diantara gunung dan lembah diantara sungai yang mengalun,
hamparan pesawahan, bebatun, tanah yang diguyur hujan serta ilalang yang tumbuh
liar. Masih basah diingatan Nurasiah bagaimana menaklukan hidupnya kemarin, apa
lagi tentang malam yang selalu
mengajaknya pergi. Kini gemericik air
turun diatas genting tiba-tiba saja. Ditengah terlihat satu cahaya mengasap,
benar-benar ditengah tanpa sekat tanpa kerahasiaan berbaringlah berdua mereka.
Hujan kini dibarengi dengan angin dan petir menambah kegetiran malam itu. Rumah
ini, rumah yang dibangun dengan keringat Almarhum pak Jayadi yang kini menjadi
salahsatu warisannya tentu saja dengan warisan kemiskinannya yang ia tinggalkan
untuk bu Aminah dan Nurasiah. Dulu saat pak jayadi masih ada diantara mereka beliau
hanya bisa mencarikan makan satuhari sekali dengan apa yang ia dapat dari yang
menyuruhnya bekerja, jika ia dapat sepiring nasi dengan lauk hanya ikan asin
dan sambal maka itu menu makan keluarganya. Tentu saja hanya sepiring untuk
bertiga. Bukan tanpa alasan, dulu beliau pernah menyebrang untuk menjadi kuli
diperkebunan kelapa sawit namun usianya yang kian renta dan sakitsakitan
memaksanya pulang dan hingga benar-benar pulang. Nurasiah masih menatap sinar lampu
cempor dari getah pinus yang emaknya pungut setiap minggu. Malam kini
benar-benar malam saat sinar itu padam. Dia ingin sekali bermimpi untuk tidak
terlahir disana, terlahir diantara lembah yang tak pernah tersentuh apa itu
teknologi dan kawan-kawannya. Saat yang jauh disana membicarakan hal-hal yang
besar ia buta akan informasi tuli akan peristiwa dan bisu. Bahkan benar-benar
bisu.
Pagi yang indah, saat embun yang bergelantung diujung daun
suji hampir jatuh, menandakan perjalanan ini akan dia mulai. Senin pertama di
awal Juli, semester ganjil dan hari pertama masuk sekolah. Pagi ini tanpa sarapan sama seperti pagi yang
lain. Tanpa alas kaki, hanya sepotong doa dari bu Aminah yang menjadi tenaga
untuk menyusuri perbukitan dan jalanan yang masih basah atau basah untuk waktu
yang lama.
“Nak ini sudah tahun ke sepuluhmu, Emak sudah habiskan apa
yang kita punya, benar-benar habis. Terimakasih atas mimpimu, Aku cukup bangga
jika kau pergi memungut getah bersama, kini kau sudah enam belas jika kau ingin
ada teman biar emak carikan lelaki untukmu.”
Sendirian tak ada suara hanya hembusan nafas yang mulai
lelah, bajupun kini mulai basah oleh keringat pertanda sekolah sudah dekat.
Pemandangan yang tak jauh beda melihat siswa baru yang sampai lebih awal. Baju
yang digosok serapih mungkin kini terbasahi peluh, terpapar tanah, dan tak ada
lagi bau wangi-wangian yang mereka semprotkan tadi. Barisan depan sudah penuh
hanya tersisa baris ke tiga dan ke empat, tak masalah asal masih bisa duduk itu
sudah lebih dari cukup. Saat yang lain bertegur sapa dan tertawa Nurasiah hanya
memperhatikan sekitar mencari wajah-wajah ramah yang sekiranya tak akan
menyakitinya. Senyum itulah yang paling aman untuk dilakukan pada saat awal
perjuampaan kali ini. Dalam hatinya ingin sekali sekedar berbasabasi atau
meperkenalkan nama. Tiba waktunya di panggil untuk memperkenalkan diri, namun
tiba-tiba keringat mederas, wajahnya panas tubuhnya mematung dibangku kayu itu.
Semua mata berbalik kearahnya menunjukan tanda Tanya dan siap-siap menghardik.
“Ayo Nurasiah kedepan, perkenalkan dirimu waktu kita akan
terbuang jika menunggumu”
Guru
ini tak suka basabasi, apalagi dengan murid baru atau mungkin menjaga kredibilitasnya
didepan siswanya yang remaja, modus guru muda.
“Ayo, cepat” nadanya berubah, tak ada reaksi dari Nurasiah,
semua semakin penasaran.
Dia
berdiri dan melangakah kedepan kelas, semakin dia bergerak semakin perlahan
mata mereka memperhatikan. Gerakan tangan dan air muka Nurasiah menjawab semua
tanda tanya meraka. Tak ada lagi suara dari mereka apalagi Nurasiah.
“Taka apa, ini Nurasiah dari bukit
tenjo” Gurunya memperkenalkan pada seisi kelas.
Suasana
masih kikuk, bisik-bisik mereka seolah meneriaki Nurasiah.
“Kamu bisu?” tiba-tiba pertanyaan itu menegaskan siapa dirinya.
“Kau bisa ajarkan kami bahasa
isyaratmu, tenang kamu aman dikelas ini”
Ini
sungguh mengejutkannya tidak ada laki-laki yang mengajaknya bicara kecuali
almarhum ayahnya, Dia menjadi lelaki kedua dihidupnya. Sembilan tahun
bersekolah tanpa teman kini di tahun ke sepuluh atau kelas satu SMA ia punya
satu teman dan akan menjadi satu-satunya.
Ada hal yang berbeda diantara jalanan tanah yang basah dan
ilalang liar, mereka terlihat begitu indah, entah apa yang Nurasiah rasakan.
Dan naluri emaknya merasakan hal yang sama. Dalam gelap dan cahaya lampu cembor
kini ia melihat Dia yang tak pernah bisa terucap.
“Nur, tidak kah kau kasian pada Emakmu ini?” rasanya kau
sudah waktunya membantuku memungut getah. Emak benar-benar sudah tidak sanggup
lagi menyekolahkanmu.” Tiba-tiba saja malam menjadi sangat gelap setelah bu
Aminah berbicara.
“Aku suka melihatmu berpakian seragam, menjinjing tas,
mencoret-coret buku tapi tidak tahu
untuk apa itu, kalaulah kau ingin pintar cukupah pintar masak dan merawat
suamimu nanti. Rasanya tak ada yang berubah dari kita. Janganlah kau berkhayal
terlalu tinggi nanti jatuhnya akan terlalu sakit Nur.”
“Bukankah tidak salah aku punya cita-cita? Semua orang punya
hak mungkin bu.” Nurasiah menimpali emaknya tentu saja dengan bahasa isyarat.
“Kau terlalu berlebihan Nur, kini semakin kau sekolah semakin
bisa menimpaliku. Dari zaman emakmu ini bau kencur hingga hampir bau tanah ini,
tak ada yang berubah dari kita, kampung, orang-orang , semua sama cari makan,
tidur, kawin dan nunggu mati. Menyesal rasanya kenapa dulu setuju dengan
bapakmu untuk menyekolahkanmu.”
Nurasiah tak berani lagi menjawab. Hati dan otaknya telah
bersinergi bahwa sekolah dapat merubah sesuatu dalam hidup mereka setidaknya
dia bisa menghitung dengan benar uang hasil penjualan getah emaknya yang dulu
dicurangi tengkulak.
“Lima puluh ribu setiap bulan itu sangat mahal, perlu dua
minggu Aku mencari getah. Apa perlu kita tidak makan setiap hari demi
sekolahmu? Seandainya Duit turun dari langit, terserahlah kau mau sekolah
sampai jompopun! Setiap hari kau jalan kak jauh, hujan, panas kau tetap
berangkat tidak kah kau capek? Aku bingung Nur, Ketika kau SD aku antarkan
setiap pagi, kau merengek ingin ke SMP
aku kabulkan, kini kau jadi pembangkang setelah kau jadi anak SMA,
memang disekolah kamu di ajarkan apa? Bukannya baca dan menulis kamu sudah
bisa? Apalagi Nur?”
Kini malam terasa hangat, hangat dengan nada bicara yang
meninggi.
“Jawab Nur! Ijazah SD SMP mu itu buat apa? Apa perlu aku
jadikan pematik tungku? Anak uwa mu yang
sekolahnya duabelas tahun ujungnya sama mengurusi suami dan anak, mungut getah
lagi. Apa bedanya sekolah atau tidak. Cukup Nur sabarku ini besok kau tak usah
sekolah lagi anggap saja kemarin kau cuma jalan-jalan ke SMA.
Bukan tanpa alasan sikap bu Aminah itu, pertama karena
benar-benar sulit mencari getah yang berimbas pada pendapatannya, kedua usia
semakin membatasinya untuk bekerja terlalu kuat. Ketiga ia tahu anaknya
beranjak dewasa dan ada hal lain dimatanya, ia takut suatu saat tersakiti,
takut jika Dia bukan untuk anaknya. Sebaliknya Nurasiah punya alasan lain, ia
mengerti sekolah bukan soal ijazah, gengsi atau kewajiban. Lebih dari itu ia
mendapatkan ilmu dan merubah cara pandang terhadap sesuatu. Lagi pula mencari
ilmu adalah ibadah.
Surat beramplop putih tiba sore itu, Bu aminah tidak begitu
menanggapi karena jelas tidak bisa membaca. Nurasiah memberi tahu isi surat itu
untuk datang kebalai desa bahwa keluarganya menjadi salahsatu calon pnerima
program pemerintah dengan membawa dokumen kependudukan dan rapornya.
“Aku mana sempat ngurusin begituan Nur.”
Nurasiah mengisyaratkan bahwa isi surat itu penting, da
keluarganya akan mendapat bantuan.
“Duit maksud mu Nur? Ah, mana ada Zaman sekarang orang-orang
bagi duit, emak dengar orang-orang dikota ngabisin duit rakyat. Lagi pula ke
balai desa terlalu jauh buat Emak”. Bu Aminah pernah sekali menonton Tv saat
dia berobat dipuskesmas yang kebetulan menyiarkan berita koruptor.
“Pergi saja Mak, coba saja dulu jangan banyak berprasangka
buruk” Nurasiah bersikukuh.
Tepat pukul 09.00, tiga puluh warga dari berbagai kampung
berkumpul mendengarkan Pak Jalil memaparkan penjelasan betapa pentingnya
pendidikan dan kesehatan dalam
kehidupan. Sekolah tidak saja
mengajarkan baca,tulis dan menghitung tapi disana ada informasi, ilmu
pengetahuan. Motivasi yang diberikan pak Jalil lamat-lamat
terngiang dan terfikirkan oleh Bu Aminah. Terlebih Janji akan mendapatkan
bantuan tiga bulan sekali mungkin bisa mengurangi beban atau bahkan menjadi
sosulsi terbaik keluarganya. Sukses merupakan hak dan tanggung jawab setiap orang, semua orang
punya kesempatan untuk berubah jadi lebih baik, tapi hanya orang yang
menggunakan kesempatanyalah yang akan menjadi lebih baik. Meskipun tidak begitu
paham, tapi kalimat itu ia sampaikan kembali kepada Nurasiah.
“Apa emak tahu apa yang bisa merubah nasib kita? Nasib yang
sudah diturunkan para moyang?”
“Kau tanya apa sama emak? Kau yang sekolah harusnya lebih
tahu.”
“Betul mak, sekolah
adalah salat satu caranya. Kita tahu mak Semua orang memang punya takdrinya masing-masing, Seperti yang emak
katakanan 4 bulan dalam kandungan tuhan telah gariskan nasib, jodoh dan mati. Tapi
bukan berarti kita tidak bisa berusaha jadi lebih baikkan mak? Setidaknya kita
takan dibodoh-bodohi lagi mak.” Isyarat tangan Nurasiah dan airmukanya
menegaskan bahwa ia telah melampiaskan apa yang ada dihatinya yang ia
tahan-tahan sejak lama.
“Apa kau tahu apa yang Mak takutkan
Nur? Kau semakin dewasa, semakin berubah caramu berfikir,berhias diri,kawanmu
dan segalanya. Mak takut jika nanti kau pergi jauh. Bagaimana dengan Emak
nanti? Siapa yang akan menjagamu nanti, melindungimu, siapa yang akan
menyakitimu emak tak tahu. Jika Dia yang kau harapkan ternyata tidak
mengharapkanmu, emak rasa Dia yang akan menyakitimu bukan mereka yang
menghinamu.
Dan setelah itu sudah empat
tahun kini, sekolah sudah satu tahun lalu usai. Semua sudah dilalui. Kini malam
menjadi sahabat yang mengingatkan tentang masa itu yang jika diingat lagi
membuatnya tersenyum, kecuali tentang Dia. Kini tinggal bagaimana
berterimakasih kepada Tuhan atas alasan-alasannya yang tak pernah terduga.
Entah bagaimana Pak Jalil merubah cara pandang ibunya mengubah perilaku dan
kebiasaan buruknya, sangat luar biasa.