Sabtu, 13 Agustus 2016

cerpen "bukan tanpa alasan"



BUKAN TANPA ALASAN
Jauh dari bising perkotaan, dekat kemiskinan dan ketertinggalan. Diantara gunung dan lembah diantara sungai yang mengalun, hamparan pesawahan, bebatun, tanah yang diguyur hujan serta ilalang yang tumbuh liar. Masih basah diingatan Nurasiah bagaimana menaklukan hidupnya kemarin, apa lagi  tentang malam yang selalu mengajaknya pergi.  Kini gemericik air turun diatas genting tiba-tiba saja. Ditengah terlihat satu cahaya mengasap, benar-benar ditengah tanpa sekat tanpa kerahasiaan berbaringlah berdua mereka. Hujan kini dibarengi dengan angin dan petir menambah kegetiran malam itu. Rumah ini, rumah yang dibangun dengan keringat Almarhum pak Jayadi yang kini menjadi salahsatu warisannya tentu saja dengan warisan kemiskinannya yang ia tinggalkan untuk bu Aminah dan Nurasiah. Dulu saat pak jayadi masih ada diantara mereka beliau hanya bisa mencarikan makan satuhari sekali dengan apa yang ia dapat dari yang menyuruhnya bekerja, jika ia dapat sepiring nasi dengan lauk hanya ikan asin dan sambal maka itu menu makan keluarganya. Tentu saja hanya sepiring untuk bertiga. Bukan tanpa alasan, dulu beliau pernah menyebrang untuk menjadi kuli diperkebunan kelapa sawit namun usianya yang kian renta dan sakitsakitan memaksanya pulang dan hingga benar-benar pulang. Nurasiah masih menatap sinar lampu cempor dari getah pinus yang emaknya pungut setiap minggu. Malam kini benar-benar malam saat sinar itu padam. Dia ingin sekali bermimpi untuk tidak terlahir disana, terlahir diantara lembah yang tak pernah tersentuh apa itu teknologi dan kawan-kawannya. Saat yang jauh disana membicarakan hal-hal yang besar ia buta akan informasi tuli akan peristiwa dan bisu. Bahkan benar-benar bisu.
Pagi yang indah, saat embun yang bergelantung diujung daun suji hampir jatuh, menandakan perjalanan ini akan dia mulai. Senin pertama di awal Juli, semester ganjil dan hari pertama masuk sekolah.  Pagi ini tanpa sarapan sama seperti pagi yang lain. Tanpa alas kaki, hanya sepotong doa dari bu Aminah yang menjadi tenaga untuk menyusuri perbukitan dan jalanan yang masih basah atau basah untuk waktu yang lama.
“Nak ini sudah tahun ke sepuluhmu, Emak sudah habiskan apa yang kita punya, benar-benar habis. Terimakasih atas mimpimu, Aku cukup bangga jika kau pergi memungut getah bersama, kini kau sudah enam belas jika kau ingin ada teman biar emak carikan lelaki untukmu.”
Sendirian tak ada suara hanya hembusan nafas yang mulai lelah, bajupun kini mulai basah oleh keringat pertanda sekolah sudah dekat. Pemandangan yang tak jauh beda melihat siswa baru yang sampai lebih awal. Baju yang digosok serapih mungkin kini terbasahi peluh, terpapar tanah, dan tak ada lagi bau wangi-wangian yang mereka semprotkan tadi. Barisan depan sudah penuh hanya tersisa baris ke tiga dan ke empat, tak masalah asal masih bisa duduk itu sudah lebih dari cukup. Saat yang lain bertegur sapa dan tertawa Nurasiah hanya memperhatikan sekitar mencari wajah-wajah ramah yang sekiranya tak akan menyakitinya. Senyum itulah yang paling aman untuk dilakukan pada saat awal perjuampaan kali ini. Dalam hatinya ingin sekali sekedar berbasabasi atau meperkenalkan nama. Tiba waktunya di panggil untuk memperkenalkan diri, namun tiba-tiba keringat mederas, wajahnya panas tubuhnya mematung dibangku kayu itu. Semua mata berbalik kearahnya menunjukan tanda Tanya dan siap-siap menghardik.
“Ayo Nurasiah kedepan, perkenalkan dirimu waktu kita akan terbuang jika menunggumu”
Guru ini tak suka basabasi, apalagi dengan murid baru atau mungkin menjaga kredibilitasnya didepan siswanya yang remaja, modus guru muda.
“Ayo, cepat” nadanya berubah, tak ada reaksi dari Nurasiah, semua semakin penasaran.
Dia berdiri dan melangakah kedepan kelas, semakin dia bergerak semakin perlahan mata mereka memperhatikan. Gerakan tangan dan air muka Nurasiah menjawab semua tanda tanya meraka. Tak ada lagi suara dari mereka apalagi Nurasiah.
            “Taka apa, ini Nurasiah dari bukit tenjo” Gurunya memperkenalkan pada seisi kelas.
Suasana masih kikuk, bisik-bisik mereka seolah meneriaki Nurasiah.
            “Kamu bisu?” tiba-tiba  pertanyaan itu menegaskan siapa dirinya.
            “Kau bisa ajarkan kami bahasa isyaratmu, tenang kamu aman dikelas ini”
Ini sungguh mengejutkannya tidak ada laki-laki yang mengajaknya bicara kecuali almarhum ayahnya, Dia menjadi lelaki kedua dihidupnya. Sembilan tahun bersekolah tanpa teman kini di tahun ke sepuluh atau kelas satu SMA ia punya satu teman dan akan menjadi satu-satunya.
Ada hal yang berbeda diantara jalanan tanah yang basah dan ilalang liar, mereka terlihat begitu indah, entah apa yang Nurasiah rasakan. Dan naluri emaknya merasakan hal yang sama. Dalam gelap dan cahaya lampu cembor kini ia melihat Dia yang tak pernah bisa terucap.
“Nur, tidak kah kau kasian pada Emakmu ini?” rasanya kau sudah waktunya membantuku memungut getah. Emak benar-benar sudah tidak sanggup lagi menyekolahkanmu.” Tiba-tiba saja malam menjadi sangat gelap setelah bu Aminah berbicara.
“Aku suka melihatmu berpakian seragam, menjinjing tas, mencoret-coret buku tapi  tidak tahu untuk apa itu, kalaulah kau ingin pintar cukupah pintar masak dan merawat suamimu nanti. Rasanya tak ada yang berubah dari kita. Janganlah kau berkhayal terlalu tinggi nanti jatuhnya akan terlalu sakit Nur.”
“Bukankah tidak salah aku punya cita-cita? Semua orang punya hak mungkin bu.” Nurasiah menimpali emaknya tentu saja dengan bahasa isyarat.
“Kau terlalu berlebihan Nur, kini semakin kau sekolah semakin bisa menimpaliku. Dari zaman emakmu ini bau kencur hingga hampir bau tanah ini, tak ada yang berubah dari kita, kampung, orang-orang , semua sama cari makan, tidur, kawin dan nunggu mati. Menyesal rasanya kenapa dulu setuju dengan bapakmu untuk menyekolahkanmu.”
Nurasiah tak berani lagi menjawab. Hati dan otaknya telah bersinergi bahwa sekolah dapat merubah sesuatu dalam hidup mereka setidaknya dia bisa menghitung dengan benar uang hasil penjualan getah emaknya yang dulu dicurangi tengkulak.
“Lima puluh ribu setiap bulan itu sangat mahal, perlu dua minggu Aku mencari getah. Apa perlu kita tidak makan setiap hari demi sekolahmu? Seandainya Duit turun dari langit, terserahlah kau mau sekolah sampai jompopun! Setiap hari kau jalan kak jauh, hujan, panas kau tetap berangkat tidak kah kau capek? Aku bingung Nur, Ketika kau SD aku antarkan setiap pagi, kau merengek ingin ke SMP  aku kabulkan, kini kau jadi pembangkang setelah kau jadi anak SMA, memang disekolah kamu di ajarkan apa? Bukannya baca dan menulis kamu sudah bisa? Apalagi Nur?”
Kini malam terasa hangat, hangat dengan nada bicara yang meninggi.
“Jawab Nur! Ijazah SD SMP mu itu buat apa? Apa perlu aku jadikan pematik tungku? Anak uwa mu  yang sekolahnya duabelas tahun ujungnya sama mengurusi suami dan anak, mungut getah lagi. Apa bedanya sekolah atau tidak. Cukup Nur sabarku ini besok kau tak usah sekolah lagi anggap saja kemarin kau cuma jalan-jalan ke SMA.
Bukan tanpa alasan sikap bu Aminah itu, pertama karena benar-benar sulit mencari getah yang berimbas pada pendapatannya, kedua usia semakin membatasinya untuk bekerja terlalu kuat. Ketiga ia tahu anaknya beranjak dewasa dan ada hal lain dimatanya, ia takut suatu saat tersakiti, takut jika Dia bukan untuk anaknya. Sebaliknya Nurasiah punya alasan lain, ia mengerti sekolah bukan soal ijazah, gengsi atau kewajiban. Lebih dari itu ia mendapatkan ilmu dan merubah cara pandang terhadap sesuatu. Lagi pula mencari ilmu adalah ibadah.
Surat beramplop putih tiba sore itu, Bu aminah tidak begitu menanggapi karena jelas tidak bisa membaca. Nurasiah memberi tahu isi surat itu untuk datang kebalai desa bahwa keluarganya menjadi salahsatu calon pnerima program pemerintah dengan membawa dokumen kependudukan dan rapornya.
“Aku mana sempat ngurusin begituan Nur.”
Nurasiah mengisyaratkan bahwa isi surat itu penting, da keluarganya akan mendapat bantuan.
“Duit maksud mu Nur? Ah, mana ada Zaman sekarang orang-orang bagi duit, emak dengar orang-orang dikota ngabisin duit rakyat. Lagi pula ke balai desa terlalu jauh buat Emak”. Bu Aminah pernah sekali menonton Tv saat dia berobat dipuskesmas yang kebetulan menyiarkan berita koruptor.
“Pergi saja Mak, coba saja dulu jangan banyak berprasangka buruk” Nurasiah bersikukuh.
Tepat pukul 09.00, tiga puluh warga dari berbagai kampung berkumpul mendengarkan Pak Jalil memaparkan penjelasan betapa pentingnya pendidikan  dan kesehatan dalam kehidupan. Sekolah tidak saja mengajarkan baca,tulis dan menghitung tapi disana ada informasi, ilmu pengetahuan.  Motivasi yang diberikan pak Jalil lamat-lamat terngiang dan terfikirkan oleh Bu Aminah. Terlebih Janji akan mendapatkan bantuan tiga bulan sekali mungkin bisa mengurangi beban atau bahkan menjadi sosulsi terbaik keluarganya. Sukses merupakan hak  dan tanggung jawab setiap orang, semua orang punya kesempatan untuk berubah jadi lebih baik, tapi hanya orang yang menggunakan kesempatanyalah yang akan menjadi lebih baik. Meskipun tidak begitu paham, tapi kalimat itu ia sampaikan kembali kepada Nurasiah.
“Apa emak tahu apa yang bisa merubah nasib kita? Nasib yang sudah diturunkan para moyang?”
“Kau tanya apa sama emak? Kau yang sekolah harusnya lebih tahu.”
“Betul mak, sekolah adalah salat satu caranya. Kita tahu mak Semua orang memang punya takdrinya masing-masing, Seperti yang emak katakanan 4 bulan dalam kandungan tuhan telah gariskan nasib, jodoh dan mati. Tapi bukan berarti kita tidak bisa berusaha jadi lebih baikkan mak? Setidaknya kita takan dibodoh-bodohi lagi mak.” Isyarat tangan Nurasiah dan airmukanya menegaskan bahwa ia telah melampiaskan apa yang ada dihatinya yang ia tahan-tahan sejak lama.
“Apa kau tahu apa yang Mak takutkan Nur? Kau semakin dewasa, semakin berubah caramu berfikir,berhias diri,kawanmu dan segalanya. Mak takut jika nanti kau pergi jauh. Bagaimana dengan Emak nanti? Siapa yang akan menjagamu nanti, melindungimu, siapa yang akan menyakitimu emak tak tahu. Jika Dia yang kau harapkan ternyata tidak mengharapkanmu, emak rasa Dia yang akan menyakitimu bukan mereka yang menghinamu.
Dan setelah itu sudah empat tahun kini, sekolah sudah satu tahun lalu usai. Semua sudah dilalui. Kini malam menjadi sahabat yang mengingatkan tentang masa itu yang jika diingat lagi membuatnya tersenyum, kecuali tentang Dia. Kini tinggal bagaimana berterimakasih kepada Tuhan atas alasan-alasannya yang tak pernah terduga. Entah bagaimana Pak Jalil merubah cara pandang ibunya mengubah perilaku dan kebiasaan buruknya, sangat luar biasa.