Rabu, 16 November 2016

apakah perasaan ini fitrahnya?



Pernahkan diantara kita merasakan hati kita telah jatuh? Jatuh begitu indah, membahagiakankan dan menyenangkan. Beberapa waktu akan terasa melambat dan melejit begitu cepat. Hujan yang kian deras akan terasa merintik berbau khas yang menenangkan, bunga yang terlihat kuncup seakan mekar begitu saja semerbak menyejukan hati. Indah sekali rasanya, jika engkau melihat fajar dikala subuh seakan tergores senyumnya dibalik venus, kedipan mata jatuh bersama bintang. Jika terik sudah terasa diubun-ubun tiada panas yang terasa hanya kehangatan yang melanda, dan hingga matahari akan terbenam bersama senja, tiada lagi kata yg tergambar hanya namanya yang selalu terukir. Indah bukan? 
Lantas hanya itu?
Masalah berikutnya adalah bagaimana rasa ini sampai padanya, rasa yang begitu indah ini. Terdengar sederhana tapi sangat rumit. Bagaimana jika dia tidak merasakan hal yang sama, apa yang terjadi pada akhirnya? Sepertinya sudah tak bisa terbayangkan bagaimana jatuh yang indah itu harus berakhir dengan kesakitan. Lalu kita mencari pembenaran atas apa yang kita lakukan, bahkan jika terlanjur berjuang untuknya.

Itu bagian drama dari kisah ini. 
Tapi coba kita tarik lurus kebelakang, sudahkah perasaan ini kita renungkan? Apa yang membuat ia tumbuh, bagaimana ia tumbuh? Jika benar perasaan ini milik kita, mengapa hanya hal indah saja yang kita nikamti, bagaimana dengan kesakitannya? Menurut saya semua adalah proses. Karena sejujurnya perasaan ini bukan milik kita, tapi milik-Nya. Rasa itu mungkin tumbuh karena kita merasa percaya bahwa dia adalah orang yang tepat. Dengan bagaimana dia memperlakukan kita kemudian timbul rasa nyaman dihati. Tapi semua itu mungkinkah nyata atau sesaat atau hanya perasaan yang kita buat sendiri? Lalu bagaimana jika semua Patamorgana? Pada siapa kita harus yakinkan ini semua?

Jalan terbaik adalah kita serahkan pada pemilik rasa ini. Karena sesungguhnya hanya Ia yang maha membolak balikkan perasaan. 

Ya Allah dekatkanlah diri ini padamu agar kelak engkau dekatkan hati kami. Jika benar rasa ini fitrah-Mu semoga ada masa yang tepat dan baik untuk kami utarakan. Bimbing kami dalam sabar disetiap ikhtiar, lapangkan hati kami agar ikhlas disetiap ketetapanmu. Amin















Sabtu, 01 Oktober 2016

Amyong lagi (perjalanan cinta jatuh bangun tikelay)



AMSYONG LAGI!
Cerita ini tentang bagaimana mencari dan menemukan pasangan, haha pasangan!  meskipun sampai saat ini belum nemu-nemu juga. Tapi seengaknya masih usaha. Karena sudah jelas fase orang di Indonesia dari janin ke bayi, balita, anak-anak, fuberitas/remaja, ALAY, dewasa. Dari sekian fase kehidupan yang ada jika dihadapkan pada fase alay, alangkah begitu konyolnya jika dipikirkan sekarang!
Oke sudah dipastikan angkatan 90an pasti pernah alay dan selamat menyesali.
Pada umumnya orang akan mengenal cinta pada masa SMA, hahaha cinta cenah wa! Atau lebih labil jika diantara kita pernah pacaran pas SMP modal pulsa sms lima ribu perak! Ketemuan dianter temen, yang pacaran satu yang nganter sekelas. Ketemuan pas udah bubar sekolah soalnya malu kalo jam sekolah masih banyak orang. Dan kenapa saya begitu hapal? karena saya pelaku dalam adegan tersebut, sebagai orang yang nganter atau dalam bahasa ilmiah disebut kambing conge like a obat nyamuk! Oke itu watir. Dizaman itu lagi hits banget tukeran nomer cewek yang jelas-jelas gak kenal orang mana atau identitasnya apa, dan kita bisa jadi siapa saja ngarang siapa nama kita, status dan banyak hal yang kita ingin kan kemudain kita kenalan telponan tengah malem, smsan dan jadian di telepon hahaah! Jadilah rantai pacaran telepon dengan siklus kenal ditelepon→ pdkt di telpon→ jadian di telpon→ putus di telepon. Dan masuk kedalam anatomi stuktural ALAY pada akhirnya berakhir amsyong.
            Dan masa Smp masa yang begitu bisaa saja bagi saya, tidak sepesial penuh dengan bulian dan tertawaan, tapi sudahlah mau bagaimana lagi. Maka dari itu first love smp lewat dan amsyong! Tiba pada fase SMA berawal dari teman baik, tetangga satu bangku, satu kelas dan berkawan baik kemudian satu geng yang terinpirasi dari salah satu sinetron remaja yang ditonton pas pulang sekolah. Oke itu horor sebenernya tapi rame buat saat itu. Saat itu belum hits media social, Friendster, masanger atau apa, maklum ana mah orang kampung gan! Jadi komunikasi lewat sms dan telepon itupun masih ngandelin bonus sesama operator. Ahahah kenapa tiba-tiba jadi pengen ketawa yah kalo ingat itu. Kelas satu berlalu tanpa ada apa-apa dan ini masih pada fase remaja transisi dengan ditandai suka music melayu, dengerin radio acara request lagu, dan bagi-bagi nomor telepon siap-siap catet kalo misalkan yang disebut nomer telepon cewek.
            Kelas dua kita beda kelas karena beda jurusan, saya ips dan dia ipa. Oke saya masuk ips bukan karena bego pelajaran eksak, tapi saat itu orang-orang yang masuk ipa euh, gak bangetlah moal baleg! Kecuali beliau. Sebagai bukti ketidak begoan saya saat uts nilai fisika saya dapet 10 great, perfecto hahaha!! Oke next, kelas dua saya sebangku dengan si suneo dan berkawan baik juga sama wa bebeng (yudistira). Dan dikelas ini kawan-kawannya paling ekstrem kulinerlah tapi entah kenapa saya nyaman dan gereget.  Selain menyimpan perasaan dengannya tentu saja juga menyimpan perasaan pada yang lain, dan yang ini paling tidak realistis sudah dipastikan akan menjadi amsyong. Karena berkawan dengan teman yang tidak begitu peduli pada orientasi mencari pasangan maka saya kebawa-kebawa jadi cuek meski kalo liat orang pacaran kabita dan ngiler juga tapi sudahlah. Kini tiba pada fase transisi menjadi alay dengan momentum perkenalan dengan akun facebook. Oke tahu kan yang terjadi tahun 2010an di facebook? Tahun dimana nama akun facebook diselipkan nama artis, nama pacar, nama hayalan ,nama alay yang hampir gak kebaca, dan ejaannya merunjuk pada ejaan yang disempurnakan neptunus! Berawal dari facebook dengan gaya photo yang aduhai jijik dan status yang luar biasa kalo dibaca sekarang menyebabkan muntah darah aaaaaaaaaaaaa……!! Oke jangan terlalu disesali guys, atau jika temen lo tiba2 komen distatus facebook lama, oke saya saranin jangan keluar rumah sampe lebaran haji. Itu aib, hahaha…!! Focus lagi, setelah berfacebook ria, saya dan beliau makin deket dan sering curhat kalo gak salah, kalo tiba-tiba nemu kuote atau potongan lagu pasti dibikin status dan kita saling tag. Dan karena saya gak berani bilang langsung, trik nya adalah pura-pura suka sama temennya kepo-kepo masalah dia, sebenernya mah biar ada bahan aja ngobrol sama dia. Oke itu modus.
            Kelas dua berlalu masih gitu-gitu aja, masih gakada kemajuan, masih smsan dan chatingan dari kenalan facebook gak ketemuan Cuma spik-spik doang tapi lumayanlah menghilangkan rasa miris lagi-lagi amsyong. Kelas tiga dapet temen sebangku baru sama cewek cantik paling hits dan baik. Kenapa saya bisa sebangku, karena pas hari pertama masuk sekolah kita bolos dan alhasil kita orang terakhir yang dapet bangku kosong kedua dari depan. Karena saya sebangku sama cewek dan mulailah curhat dan mulai ngerti trik meluluhkan hati wanita, cie meluluhkan. Oke tiba saat mendebarkan itu, berawal dari kebulsitan bahwa saya punya pacar anak smp dan kacaulah akhirnya. Tapi belum nyampe amsyong masih ada harapan! Dengan Tiba-tiba ada tulisan dilembar terkahir buku tulis saya “cinta sudah terlambat”, oke ini tulisan tangan yang tidak asing lagi. Rasanya saat itu  garis finish sudah dekat yeeeaahh…. Modal nekat saat itu aku sms nembak (masih cupu, tapi segitu juga udah uyuhan). Dan beliau ingin aku  mengatakan langsung, kalian tahu dimana saya nembak?? Di wc pas orang-orang pada bubaran. Haaahh tapi alhamdulilah diterima J (backsound lagu afga terimakasih cinta).
            Kelas tiga itu semakin indah dan berwarna, baju seragam tidak lagi putih abu-abu tapi warna-warni kaya iklan kopi (karena hidup banyak warna, eh rasa ketang). Dan mulai go public hubungan ini, lewat tanda relationship di facebook. Dampaknya  adalah kerusuhan masal di segala lini, teman sekelas, temen dirumah hingga amang-amang angkot mengucapkan kalimat penuh makna yang dalam that is, “Cieeeeeee” oke tiap ketemu orang pasti di cieee-in memang ini momen langka dan prestisius dihidup saya kaya menang nominasi di Panasonic gobel award yang nomine nya ariel, adipati dolken, dian wiyoko, herjunot ali dan saya yang menang! Hari-hari semakin manis, mulai asem, dan beberapa hal jadi kamvret moment. Tapi satu hal yang baik ke-alay-an mulai dikurang-kurangin. Singkatnya setelah semuanya dilalui adahal yang sepertinya mulai hambar dan tidak seindah dulu, fase dimana hubungan diuji dan dipertanyakan komitmen dan janji-janji manis diawal. Kita lulus dan akan meneruskan kehidupan masing-masing meski pada saat itu kita masih “pacaran”. Saya kuliah dan dia bekerja, komunikasi masih berjalan lancar, agak tidak lancar, hampir masih lancar, tidak lancar dan hilang tanpa akhir yang jelas. Oke inilah fase dimana transisi meuju dewasa menerima dan membuat hipotesa bahwa yang kita rasakan bisa saja berubah karena jarak dan lingkungan yang baru. Dengan kesimpulan akhir amsyong lagi. Cinta pertama amsyong dan jadilah mantan. (Yes punya mantan).
            Kini saya berada di fase kuliah, fase yang semakin gereget dalam hidup saya, tinggal diasarama dan berteman dengan orang-orang super baik dan gokil, alhamdulilah. Meski memang pada awalnya sulit beradaptasi tapi setelah sekian lama mereka seperti saudara. Seperti pepatah, kita tidak bisa memimilih dari keluarga mana kita dilahirkan, tapi kita bisa memilih keluarga dengan beteman. Dan kisah cinta ini berlanjut ketika kuliah. Bukan, bukan! saya tidak pacaran sama mahasiswi, its imposimble. Saya mengenal salahsatu perempuan dari facebook (oke itu alay pisan) dan dia bekerja disalah satu perusahaan garment. Tidak begitu sulit karena triknya hampir khatam dikuasai. Oke kita pacaran dan dia baik banget atau mungkin saya yang terlalu banyak bermodus . Dan kinilah tiba di fase pertanyaan “kamu serius ga si sama aku?” atau “aku mau ngomong sesuatu” itu horror guys! Dan pada sabtu sore di tempat mie ayam bogor di lantai dua saat-saat menegangkan itu tiba, kaenyataan yang membingungkan dan mengejutkan bahwa statusnya dalah seorang jendes. Hah?? Serius wa urang ge reuwas. Oke dan setelah pernyataan, pertanyaan nya muncul, “ terus gimana kita? Kamu masih mau nerima aku??” oke moment ini sulit, kalo bilang enggak alangkah jahatnya, kalo iyah juga agak gimana kedepannya, nanti salah-salah diajak nikah buru-buru gimana? Adek masih kuliah tante!! Dan lagi-lagi berakhir amsyong.
            Setelahnya lama sendiri menjomblo, sampai dikasih nomor telepon dan mulai sms ajak kenalan ala klasik. Tahu namanya kemudian kepo stlaking facebook nya ohh ternyata cantik dan disitu jadi minder. Kemudian ketemuan di L.A, tempat sejuta umat buat nongkrong. Deket, deket, dan deket atau itu Cuma perasaan saya. Dan sampai belum saya ungkapkan  dia keburu pergi ke luar. Oke ini amsyong lagi. Tapi untung facebook tetap menghubungkan saya, gak tahu deh dia kaya gimana mungkin sebatas ngebales chat biasa dan saya terlalu berharap. Yah atau baper! Lama sekali dia disana dan yeeeahh dia pulang, sepertinya ini jangan sampai mengulang kesalahan yang sama, jangan mensiasiakan kesempatan harus segera diungkapkan apa punitu hasilnya. Berbekal hasil nonton film korea, adegan nembak lewat pak pos saya ikuti. Ceritanya ngasih boneka sama cokelat yang ada buku catatan isinya nembak, dikirim via pos so sweet si kalo di film mah, dan apa, yang salah adalah saya gak tahu alamat lengkap rumahnya. Terpaksa saya Tanya dan tidak jadi surprise lagi pas datang itu pak pos. oke diterima lah itu paket, tapi kok kenapa gak ada reaksi kaya di film ya?? Gak berani sms atau telepon, lagi-lagi facebook jadi jembatan. Saya inbox dia dan jawabannya di awali kata maaf. Pastilah ujungny apa ga usah dibaca juga hasilnya bakal sama , gitu deh lagi-lagi Amsyong. Dan sampe lulus kuliah masih aja sendiri.
            Dan kini saya berada di fase kawan-kawan sengakatan udah pada nikah dan saya masih gini-gini aja. Satu persatu kawan dekat selepas masa lajang, dan itulah fase dimana saya kehilangan teman nongkrong dan teman sharing. Oke! malam minggu akan semakin garing tanpa mereka. Undangan satu persatu berdatangan hampir separuh akhir pekan di tiap bulan digunakan buat undangan dan parasamanan.bukan masalah amplop tapi masalah perasaan, betapa bapernya liat mereka dipaminan L. Kini saat dimana kesabaran dalam berproses, sabar dalam memperbaiki diri, sabar merayu-nya. Dan buat kamu yang saat ini saya merasa dekat, mudah-mudahan kita saling medekatkan diri pada-nya supaya kelak kita didekatkan dengan ridho dan firahnya. Aslina aku mah serius! Dan semoga berakhir manis no amsyong.

Minggu, 04 September 2016

Prolog perasaan Aku dan kamu yang dulu "kita"



PROLOG KITA
DIA      : “Sebaiknya kau jelaskan perasaan itu pada dirimu, tanya hatimu!”
AKU     : “Aku mencintaimu lebih dari itu”
DIA      : “Untuk apa?”
AKU     : “Aku tak tahu bagaimana menjelaskan ini padamu”
DIA      : “Seharusnya kau pahami perasaanmu sebelum mengajakku memahaminya apa benar-benar cinta atau sekedar kesepian, jika saja aku bukan aku yang seperti ini bisakah lebih dari itu perasaanmu?”
AKU     : “Terlalu rumit jika kau katakan itu”
DIA      : “Sebenarnya ini tidak rumit hanya saja kau terlalu memaksakan dirimu untuk lebih mencintaiku, mendapatkan hatiku lagi.”
AKU     : “Kita tidak sedang berbicara tentang hatiku, tapi tentang hatimu padaku”
DIA      : “Tidak, sebelum hatiku kau tanyakan, tegaskan pada dirimu untuk apa kita disini, Aku ingin kita jujur bagaimana jika aku telah dimiliki hati lain? Kenapa kau tak pernah tanyakan itu padaku?”
AKU     : “Aku tak pernah berfikir kamu telah dimiliki atau memiliki dipilih atau memilih hati lain, bagiku kau tetap sama. Saat sebelum bersamaku, ketika bersama, setelah tidak bersama dan saat akan kembali bersama. Tak ada alasan lagi bukan?”
DIA      : “Hanya saja kau tak pernah tahu bagaimana perjalanan hati ini, bagimu aku sama. Sejak kapan anggapan  itu? Setelah tidak bersama lagi, Aku menemukan hati lain yang kami satukan, apa kau tahu itu? dan seandainya kau pun sama mengapa kau tidak pertahankan dan memilih merayu hatiku lagi?”
AKU     : “Bukan hati itu yang aku mau”
DIA      : “Tidak semua hati akan menjadi sama seperti yang kau mau”
AKU     : “Tidakkah kau tanya mengapa hatiku menjadi seperti ini?”
DIA      : “Bahkan kau tidak menjelaskan pada dirimu sendiri?”
AKU     : “Aku telah mencari hati dengan apa adanya hati ini, bagaimana bisa hati mereka tidak merasakan apa-apa. Pernah kubentuk menjadi sangat indah ku berikan pada mereka saat itu pula hancur tak berbentuk”.
DIA      :  “Bukankah itu perjalanan? Proses? Lalu bagaimana jika aku melakukan hal yang sama pada hatimu? Apa kau menjadikan hatiku sama seperti kau jadikan mereka? “
AKU     : “Apa kau senang melihatku seperti itu? Gagal, hancur nyaris menyerah berhenti lebih awal?”
DIA      : “Aku tidak sedang menggiringmu! Harusnya kau lebih jujur pada hatimu sendiri dibanding harus mencari alibi.”
AKU     : “Aku tidak sedang mencari alasan dan pembenaran atas setiap kegagalanku, sederhana sekali aku mencintaimu itu saja.”
DIA      : “Lalu bagaimana jika aku menyakitimu, membuatmu gagal? Masih ada cinta itu? Terlalu mudah untukmu mencintai tanpa ingin berjuang.“
AKU     : “Berjuang?  Berjuang seperti apa yang kau maksud? Bersabar, menunggu, meluluhkan dan saat semua terlihat indah setelah itu kemudian hancur?”
DIA      : “Kau sebut itu berjuang? Itu tidak lebih dari sekedar modus-modus sampah!”
AKU     : “Jika benar aku sampah dimatamu”
DIA      : “Tindakanmu! Tidak kau mengertikah perdebatan kita ini? Bahkan kau tidak mengucapkan penyesalasan tentang bagaimana dulu kau menghancurkan, membuatku gagal, dan ingin berhenti?  Ini tidak lebih dari keegoisanmu.”
AKU     : “Kini kau benar-benar menghakimiku,seolah-olah aku yang paling berdosa telah meninggalkanmu,padahal saat yang bersamaan kau pergi tanpa aku tahu apa dosaku?”
DIA      : “Semakin jelas kini hati ini berharap pada hati yang salah, hati yang tak pernah luluh meski dosa-dosanya sudah terkuak, hati yang benar-benar menjaga dirinya sendiri tanpa tahu ada hati lain yang berharap dan bahkan saat hati itu ada dihadapannya masih saja angkuh. Atau aku keliru menggap itu adalah hati?”
AKU     : “Aku tahu hati itu masih untuk ku, bukan begitu?” Tidak kah kau tau, hati ini hampir lumpuh terlalu melangkah jauh dibayangi awan hitam, ditikam tanda tanya bahwa pergi adalah pilihanmu. Dan saat kenyataan itu terbit aku tahu bahwa hatimu tidak lagi jadi rumahku. Apa kau tau sesakit apa saat kita tak bersama? Jika kau katakan ini bukan lagi hati, perjalananlah yang membuatnya terkikis.
DIA      : “Tidak pada akhirnya, jika kau begitu sakit saat hati kita tak bersama, bahkan kau pun  tak tau bagaimana hati ini meraung-raung. Aku tak mau menyalahkanmu, sama seperti saat ini yang kau lakukan. Aku lebih suka menyebut  ini takdir. Takdir yang mengatur waktu kapan hati kita bertemu dan akan berpisah.
AKU     : “Kaupun tahu jika aku tidak suka diatur waktu, Karena bagiku waktu adalah sekarang, sekarang yang menetukan esok, sekarang yang menetukan masa depan. Takdir? Kita pernah bersama saling jatuh cinta itu takdir. Tapi kamu meninggalkanku begitu saja itu pilihan.”
DIA      : “Percakapan ini semakin  jelas menyadarkanku, kau ingin kita bersama, mengulang semuanya, hal indah kita, beharap semua akan kembali seperti yang kau inginkan tapi kau melupakan satu hal semua takkan seindah seperti pertama. Dan kamu tahu apa hal yang paling menyakitkan selain ditinggalkan? Itu meningglkan. Tidak ada lagi hati ini untukmu, tak ada kata kita di hidup mu dan aku. Semua telah berdeda jalan kita sudah jauh bersebrangan, tak ada lagi bintang yang tunjukan jalan pulang untukmu kehatiku begitupun sebaliknya. Hati kita akan berlabuh pada dermaganya masing-masing.
AKU     : “Harusnya aku tahu pilihan terburuk adalah kembali”







           

Sabtu, 13 Agustus 2016

cerpen "bukan tanpa alasan"



BUKAN TANPA ALASAN
Jauh dari bising perkotaan, dekat kemiskinan dan ketertinggalan. Diantara gunung dan lembah diantara sungai yang mengalun, hamparan pesawahan, bebatun, tanah yang diguyur hujan serta ilalang yang tumbuh liar. Masih basah diingatan Nurasiah bagaimana menaklukan hidupnya kemarin, apa lagi  tentang malam yang selalu mengajaknya pergi.  Kini gemericik air turun diatas genting tiba-tiba saja. Ditengah terlihat satu cahaya mengasap, benar-benar ditengah tanpa sekat tanpa kerahasiaan berbaringlah berdua mereka. Hujan kini dibarengi dengan angin dan petir menambah kegetiran malam itu. Rumah ini, rumah yang dibangun dengan keringat Almarhum pak Jayadi yang kini menjadi salahsatu warisannya tentu saja dengan warisan kemiskinannya yang ia tinggalkan untuk bu Aminah dan Nurasiah. Dulu saat pak jayadi masih ada diantara mereka beliau hanya bisa mencarikan makan satuhari sekali dengan apa yang ia dapat dari yang menyuruhnya bekerja, jika ia dapat sepiring nasi dengan lauk hanya ikan asin dan sambal maka itu menu makan keluarganya. Tentu saja hanya sepiring untuk bertiga. Bukan tanpa alasan, dulu beliau pernah menyebrang untuk menjadi kuli diperkebunan kelapa sawit namun usianya yang kian renta dan sakitsakitan memaksanya pulang dan hingga benar-benar pulang. Nurasiah masih menatap sinar lampu cempor dari getah pinus yang emaknya pungut setiap minggu. Malam kini benar-benar malam saat sinar itu padam. Dia ingin sekali bermimpi untuk tidak terlahir disana, terlahir diantara lembah yang tak pernah tersentuh apa itu teknologi dan kawan-kawannya. Saat yang jauh disana membicarakan hal-hal yang besar ia buta akan informasi tuli akan peristiwa dan bisu. Bahkan benar-benar bisu.
Pagi yang indah, saat embun yang bergelantung diujung daun suji hampir jatuh, menandakan perjalanan ini akan dia mulai. Senin pertama di awal Juli, semester ganjil dan hari pertama masuk sekolah.  Pagi ini tanpa sarapan sama seperti pagi yang lain. Tanpa alas kaki, hanya sepotong doa dari bu Aminah yang menjadi tenaga untuk menyusuri perbukitan dan jalanan yang masih basah atau basah untuk waktu yang lama.
“Nak ini sudah tahun ke sepuluhmu, Emak sudah habiskan apa yang kita punya, benar-benar habis. Terimakasih atas mimpimu, Aku cukup bangga jika kau pergi memungut getah bersama, kini kau sudah enam belas jika kau ingin ada teman biar emak carikan lelaki untukmu.”
Sendirian tak ada suara hanya hembusan nafas yang mulai lelah, bajupun kini mulai basah oleh keringat pertanda sekolah sudah dekat. Pemandangan yang tak jauh beda melihat siswa baru yang sampai lebih awal. Baju yang digosok serapih mungkin kini terbasahi peluh, terpapar tanah, dan tak ada lagi bau wangi-wangian yang mereka semprotkan tadi. Barisan depan sudah penuh hanya tersisa baris ke tiga dan ke empat, tak masalah asal masih bisa duduk itu sudah lebih dari cukup. Saat yang lain bertegur sapa dan tertawa Nurasiah hanya memperhatikan sekitar mencari wajah-wajah ramah yang sekiranya tak akan menyakitinya. Senyum itulah yang paling aman untuk dilakukan pada saat awal perjuampaan kali ini. Dalam hatinya ingin sekali sekedar berbasabasi atau meperkenalkan nama. Tiba waktunya di panggil untuk memperkenalkan diri, namun tiba-tiba keringat mederas, wajahnya panas tubuhnya mematung dibangku kayu itu. Semua mata berbalik kearahnya menunjukan tanda Tanya dan siap-siap menghardik.
“Ayo Nurasiah kedepan, perkenalkan dirimu waktu kita akan terbuang jika menunggumu”
Guru ini tak suka basabasi, apalagi dengan murid baru atau mungkin menjaga kredibilitasnya didepan siswanya yang remaja, modus guru muda.
“Ayo, cepat” nadanya berubah, tak ada reaksi dari Nurasiah, semua semakin penasaran.
Dia berdiri dan melangakah kedepan kelas, semakin dia bergerak semakin perlahan mata mereka memperhatikan. Gerakan tangan dan air muka Nurasiah menjawab semua tanda tanya meraka. Tak ada lagi suara dari mereka apalagi Nurasiah.
            “Taka apa, ini Nurasiah dari bukit tenjo” Gurunya memperkenalkan pada seisi kelas.
Suasana masih kikuk, bisik-bisik mereka seolah meneriaki Nurasiah.
            “Kamu bisu?” tiba-tiba  pertanyaan itu menegaskan siapa dirinya.
            “Kau bisa ajarkan kami bahasa isyaratmu, tenang kamu aman dikelas ini”
Ini sungguh mengejutkannya tidak ada laki-laki yang mengajaknya bicara kecuali almarhum ayahnya, Dia menjadi lelaki kedua dihidupnya. Sembilan tahun bersekolah tanpa teman kini di tahun ke sepuluh atau kelas satu SMA ia punya satu teman dan akan menjadi satu-satunya.
Ada hal yang berbeda diantara jalanan tanah yang basah dan ilalang liar, mereka terlihat begitu indah, entah apa yang Nurasiah rasakan. Dan naluri emaknya merasakan hal yang sama. Dalam gelap dan cahaya lampu cembor kini ia melihat Dia yang tak pernah bisa terucap.
“Nur, tidak kah kau kasian pada Emakmu ini?” rasanya kau sudah waktunya membantuku memungut getah. Emak benar-benar sudah tidak sanggup lagi menyekolahkanmu.” Tiba-tiba saja malam menjadi sangat gelap setelah bu Aminah berbicara.
“Aku suka melihatmu berpakian seragam, menjinjing tas, mencoret-coret buku tapi  tidak tahu untuk apa itu, kalaulah kau ingin pintar cukupah pintar masak dan merawat suamimu nanti. Rasanya tak ada yang berubah dari kita. Janganlah kau berkhayal terlalu tinggi nanti jatuhnya akan terlalu sakit Nur.”
“Bukankah tidak salah aku punya cita-cita? Semua orang punya hak mungkin bu.” Nurasiah menimpali emaknya tentu saja dengan bahasa isyarat.
“Kau terlalu berlebihan Nur, kini semakin kau sekolah semakin bisa menimpaliku. Dari zaman emakmu ini bau kencur hingga hampir bau tanah ini, tak ada yang berubah dari kita, kampung, orang-orang , semua sama cari makan, tidur, kawin dan nunggu mati. Menyesal rasanya kenapa dulu setuju dengan bapakmu untuk menyekolahkanmu.”
Nurasiah tak berani lagi menjawab. Hati dan otaknya telah bersinergi bahwa sekolah dapat merubah sesuatu dalam hidup mereka setidaknya dia bisa menghitung dengan benar uang hasil penjualan getah emaknya yang dulu dicurangi tengkulak.
“Lima puluh ribu setiap bulan itu sangat mahal, perlu dua minggu Aku mencari getah. Apa perlu kita tidak makan setiap hari demi sekolahmu? Seandainya Duit turun dari langit, terserahlah kau mau sekolah sampai jompopun! Setiap hari kau jalan kak jauh, hujan, panas kau tetap berangkat tidak kah kau capek? Aku bingung Nur, Ketika kau SD aku antarkan setiap pagi, kau merengek ingin ke SMP  aku kabulkan, kini kau jadi pembangkang setelah kau jadi anak SMA, memang disekolah kamu di ajarkan apa? Bukannya baca dan menulis kamu sudah bisa? Apalagi Nur?”
Kini malam terasa hangat, hangat dengan nada bicara yang meninggi.
“Jawab Nur! Ijazah SD SMP mu itu buat apa? Apa perlu aku jadikan pematik tungku? Anak uwa mu  yang sekolahnya duabelas tahun ujungnya sama mengurusi suami dan anak, mungut getah lagi. Apa bedanya sekolah atau tidak. Cukup Nur sabarku ini besok kau tak usah sekolah lagi anggap saja kemarin kau cuma jalan-jalan ke SMA.
Bukan tanpa alasan sikap bu Aminah itu, pertama karena benar-benar sulit mencari getah yang berimbas pada pendapatannya, kedua usia semakin membatasinya untuk bekerja terlalu kuat. Ketiga ia tahu anaknya beranjak dewasa dan ada hal lain dimatanya, ia takut suatu saat tersakiti, takut jika Dia bukan untuk anaknya. Sebaliknya Nurasiah punya alasan lain, ia mengerti sekolah bukan soal ijazah, gengsi atau kewajiban. Lebih dari itu ia mendapatkan ilmu dan merubah cara pandang terhadap sesuatu. Lagi pula mencari ilmu adalah ibadah.
Surat beramplop putih tiba sore itu, Bu aminah tidak begitu menanggapi karena jelas tidak bisa membaca. Nurasiah memberi tahu isi surat itu untuk datang kebalai desa bahwa keluarganya menjadi salahsatu calon pnerima program pemerintah dengan membawa dokumen kependudukan dan rapornya.
“Aku mana sempat ngurusin begituan Nur.”
Nurasiah mengisyaratkan bahwa isi surat itu penting, da keluarganya akan mendapat bantuan.
“Duit maksud mu Nur? Ah, mana ada Zaman sekarang orang-orang bagi duit, emak dengar orang-orang dikota ngabisin duit rakyat. Lagi pula ke balai desa terlalu jauh buat Emak”. Bu Aminah pernah sekali menonton Tv saat dia berobat dipuskesmas yang kebetulan menyiarkan berita koruptor.
“Pergi saja Mak, coba saja dulu jangan banyak berprasangka buruk” Nurasiah bersikukuh.
Tepat pukul 09.00, tiga puluh warga dari berbagai kampung berkumpul mendengarkan Pak Jalil memaparkan penjelasan betapa pentingnya pendidikan  dan kesehatan dalam kehidupan. Sekolah tidak saja mengajarkan baca,tulis dan menghitung tapi disana ada informasi, ilmu pengetahuan.  Motivasi yang diberikan pak Jalil lamat-lamat terngiang dan terfikirkan oleh Bu Aminah. Terlebih Janji akan mendapatkan bantuan tiga bulan sekali mungkin bisa mengurangi beban atau bahkan menjadi sosulsi terbaik keluarganya. Sukses merupakan hak  dan tanggung jawab setiap orang, semua orang punya kesempatan untuk berubah jadi lebih baik, tapi hanya orang yang menggunakan kesempatanyalah yang akan menjadi lebih baik. Meskipun tidak begitu paham, tapi kalimat itu ia sampaikan kembali kepada Nurasiah.
“Apa emak tahu apa yang bisa merubah nasib kita? Nasib yang sudah diturunkan para moyang?”
“Kau tanya apa sama emak? Kau yang sekolah harusnya lebih tahu.”
“Betul mak, sekolah adalah salat satu caranya. Kita tahu mak Semua orang memang punya takdrinya masing-masing, Seperti yang emak katakanan 4 bulan dalam kandungan tuhan telah gariskan nasib, jodoh dan mati. Tapi bukan berarti kita tidak bisa berusaha jadi lebih baikkan mak? Setidaknya kita takan dibodoh-bodohi lagi mak.” Isyarat tangan Nurasiah dan airmukanya menegaskan bahwa ia telah melampiaskan apa yang ada dihatinya yang ia tahan-tahan sejak lama.
“Apa kau tahu apa yang Mak takutkan Nur? Kau semakin dewasa, semakin berubah caramu berfikir,berhias diri,kawanmu dan segalanya. Mak takut jika nanti kau pergi jauh. Bagaimana dengan Emak nanti? Siapa yang akan menjagamu nanti, melindungimu, siapa yang akan menyakitimu emak tak tahu. Jika Dia yang kau harapkan ternyata tidak mengharapkanmu, emak rasa Dia yang akan menyakitimu bukan mereka yang menghinamu.
Dan setelah itu sudah empat tahun kini, sekolah sudah satu tahun lalu usai. Semua sudah dilalui. Kini malam menjadi sahabat yang mengingatkan tentang masa itu yang jika diingat lagi membuatnya tersenyum, kecuali tentang Dia. Kini tinggal bagaimana berterimakasih kepada Tuhan atas alasan-alasannya yang tak pernah terduga. Entah bagaimana Pak Jalil merubah cara pandang ibunya mengubah perilaku dan kebiasaan buruknya, sangat luar biasa.